Mengenali Emosi - Pertama kali K merasa kehilangan

We Bare Bears in the MINISO stores Australia - YouTube

Contoh Boneka Bear


Sewaktu K masih dalam kandungan, rasa-rasanya aku banyak sekali berdoa pada Allah, agar diberikan anak yang memiliki kekayaan emosi dan bisa mengungkapkannya. Sedih, marah, gembira, kecewa,pokoknya apapun yang ia rasakan, paling nggak, bisa ia ungkapkan pada lingkungan sekitarnya. Hal ini sebagai tanda bahwa ia merasa aman dan nyaman dengan lingkungan yang dia tinggali.

 

Dan sekarang, saat K hampir memasuki masa-masa Wonderful Two ( menghindari sekali memakai kata Terrible Two, bakal cerita ini di postingan berikutnya), aku baru menyadari bahwa Allah MENGABULKAN doa tersebut.

 

Dalam bentuk seperti apa ya?

 

Begini,

Dalam keluargaku yang kental sekali darah Betawi nya, kami terbiasa untuk mengungkapkan emosi. Bukan dengan cara yang meledak-ledak ketika marah juga sih. Paling nggak, ketika kamu merasa marah, anggota keluarga yang lain tahu. Saat kita sedih, anggota keluarga lain juga tahu. Saat kita kecewa, anggota keluarga yang lain juga tahu. Meskipun ada juga momen-momen  “sebel” dimana segala macam “kode” sudah dikeluarkan, tapi anggota keluarga lain nggak tahu/ nggak benar menebak jenis emosi yang sedang kita rasakan. Yaa jelas , karena nggak semua orang bisa membaca pikiran dan perasaan orang lain khan?

 

Lalu, bertemulah aku dengan pasangan yang sekarang. Yang latar belakang, history, cara orangtua membesarkan, semuanya berbeda. 180 derajat. Disinilah masa dimana kemampuan beradaptasi dibutuhkan. Aku yang terbiasa mengutarakan jenis emosi dengan pasangan yang sulit sekali mengungkapkan emosinya.

 

Sulit nggak? Pastinya. Menantang? Tentu..

 

Makanya saat hamil K, aku berdoa banyak supaya dia bisa dengan mudah mengutarakan kemauannya. Supaya nggak ada lagi masa-masa membaca “kode” yang nantinya bisa disalah artikan.

 

Akhirnya di hari ini, 5 Agustus, untuk pertama kalinya aku melihat langsung K bisa mengutarakan dengan jelas emosinya.

 

Cerita dimulai dari Kemarin, 4 Agustus, saat  aku memutuskan untuk deep cleaning rumah. Berbekal memanggil jasa cleaning vacuum Kasur dan sofa, aku pun sadar bahwa boneka-boneka dan bantal yang ada di rumah juga butuh dibersihkan. Karena ingin lebih bersih dan juga menghemat space menjemur dirumah, aku memutuskan untuk memanggil jasa laundry langganan juga kerumah. Mungkin karena kemarin penuh, akhirnya laundry langganan ini baru datang jam 12 siang hari ini.

 

Tumben sekali, K belum tidur siang. Dengan setengah mengantuk, ia melihat proses boneka-boneka kesayangannya akan segera berpindah tangan untuk dicuci di laundry. Biasanya dia hanya memperhatikan namun kali ini dia bereaksi.

 

Saat boneka bebeknya aku serahkan ke tukang laundry, dia mulai merengek meminta boneka bebek untuk dikembalikan. Saat akhirnya dia melihat boneka beruang dan lainnya kembali diambil, kali ini dia bukan lagi merengek, tapi menangis kencang.

 

Bukan menangis memakai strategi (yang biasanya nggak keluar air mata), tapi ini tangisan seperti ditinggalkan orang tersayang :’)

 

“Beruang, beruang.. mana beruang.. sini beruang”

 

Dia terus menangis sambil aku sibuk mengkompromisasikan, bahwa boneka beruangnya kotor, perlu mandi sebentar, 2 atau 3 hari lagi, akan balik lagi kerumah dengan keadaan yang bersih dan wangi. Hal ini juga terjadi dengan boneka bebeknya di awal-awal saat aku mau memberikan semua bonekanya ke tukang laundry untuk dicuci, tapi karena takut menangis, akhirnya aku memutuskan si bebek akan masuk ke kloter pencucian selanjutnya.

 

Dia terus menangis sambil melihat boneka beruangnya “diambil”. Tukang laundry pun pergi, tapi dia terus menangis.

 

Aku ingat bahwa saat inilah kita harus bisa memposisikan diri kita berada dalam tahapan emosi yang sama dengan anak. Aku tawarkan untuk memeluknya, menggendong, dan mengafirmasi bahwa dia sedih, dan nggak suka saat boneka beruanganya diambil. Aku juga ikut menjelaskan bahwa aku ikut sedih, dan siap memeluk dia lebih lama sampai dia merasa enakan.

 

 

Cukup lama K menangis, bahkan sampai terbawa tidur siangnya. Dia masih setengah menangis sambil tertidur dengan menanyakan beruangnya. Baru saat dia pulas tidur, aku menyadari perjalanan K untuk mendapatkan beruang itu, dan mengerti mengapa K begitu sedihnya ditinggal si beruang.

 

Ingatkah kamu saat pertama kali mendapatkan barang yang diidamkan begitu lamanya? Nah, begitu juga K. Boneka beruang ini sebenarnya biasa saja (bagi aku paling nggak). Dalam bentuk “Bear” salah satu karakter We Bare Bear yang bisa didapatkan di Miniso. Ia tonton dulu filmnya dan nggak sengaja menemukan karakternya di Miniso saat kami sedang window shopping di mall. Dia yang hafal dengan karakter tersebut, langsung meminta untuk mengambil dan memeluknya sampai pulang. Namun, untuk mendapatkan si beruang ini, dia harus mendapatkan penolakan 3-4 kali, sampai permohonannya dikabulkan. Bole dikatakan, ia mengalami proses yang panjang dan butuh kesabaran yang tinggi bagi seorang anak dibawah 2 tahun demi mendapatkan barang yang ia idamkan.

 

Saat pertama kali ia melihat boneka beruang itu berpisah darinya, mungkin perasaan sedih itulah yang pertama kali dirasakan. Aku agak kaget saat dia menangis begitu sedihnya seperti nggak mau kehilangan namun akhirnya aku mengerti. Kita saja yang orang dewasa akan sedih, apalagi anak kecil.

 

Alhamdulillah, dengan momen kecil ini aku menyadari bahwa K mulai mengenal emosinya. Pelan-pelan, affirmasi yang biasanya aku tunjukkan pada K sehari-hari, ikut membuahkan hasil.

 

Semoga saat K bangun nanti, perasaannya sedikit lebih baik J

Komentar

Postingan Populer