Jakarta and “Enchanting “ Traffic


 reading time : 3-5 minutes

Jakarta
The city that never sleeps
The city of lights
Or the love and hate relationship?

I came out with these ideas of three pile of words above,  to give three statements about the city which I live for years. Correction. Used to live.

I just wanted to share, why I used term of love and hate relationship?

Setelah 3 bulan lamanya mendapatkan pengalaman untuk tinggal di suburb area, saya baru menyadari bahwa Jakarta selalu memberikan the power of spell bagi siapapun yang memiliki kepentingan untuk tinggal di wilayah tersebut.

Saya sempat pindah “pulau” selama beberapa tahun lamanya, untuk ikut ayah saya bekerja. All I can say, semua pengalaman pindah-tinggal-kenalan-pamit-adaptasi-pindah-tinggal lagi, menjadikan saya sebagai pribadi yang sedikit tau bagaimana rasanya belajar untuk beradaptasi. Hingga akhirnya, saya pindah dan kemudian menetap lagi di kota tempat saya dilahirkan. Another correction. Bukan tempat dilahirkan, tetapi tempat saya diajarkan untuk berkembang . oleh lingkungan.

Saya baru menyadari pula, betapa beruntungnya saya karena keluarga saya mendapatkan tempat tinggal di “tengah” Jakarta. Ayah saya hanya butuh waktu 5 menit dari rumah untuk mencapai kantornya jika tidak macet, saya dan kakak adik saya pun hanya sejengkalan tangan untuk pergi ke sekolah masing-masing.

Tapi itu dulu.
Sebelum gubernur berganti.
Sebelum kebijakan baru datang lagi.

2016, sebagai mantan anak “selatan”, saya mengalami betul perubahan yang dibuat oleh gubernur “baru” Jakarta. utamanya adalah penambahan jalur-jalur jalan baru, penambahan dan perubahan fasilitas umum, baik transportasi maupun yang lainnya. Sedikit banyak, saya merasakan perubahan positifnya, meski, nggak bisa dipungkiri saya juga sempat jengah dengan hal-hal negative yang ikut saya alami sejak adanya perubahan-perubahan tersebut.

Jika dulu saya cukup mengenali jam-jam “panas” yang harus saya hindari ketika saya ingin berpergian, kini rasanya menjadi sulit. Waktu dimana biasanya saya bisa menerabas jalan tanpa perlu mengalami kemacetan, sepertinya sudah tidak lagi ada. Mau tidak mau saya harus satu jam  lebih cepat dari waktu keberangkatan biasanya. Belum lagi jika ada jalan-jalan yang memang sedang ditutup dan saya harus memutar arah dua bahkan tiga kali jaraknya dari jalur yang biasa saya lewati. Namun, bukankah memang untuk perubahan yang lebih baik, dibutuhkan pengorbanan yang jauh lebih banyak?
Karena sekarang saya tinggal di suburb meski masih ada kata selatan dibelakangnya, saya tidak bisa lagi mengira-ngira waktu yang tepat untuk saya berangkat ke tempat tujuan di daerah Jakarta. Sebagai pusat beraktivitas, saya tidak bisa egois meminta rekan-rekan atau teman-teman yang lain untuk bertemu di daerah tengah “versi saya”. Saya harus mengikuti suara mayoritas dan tempat mana yang dikira nyaman untuk bertemu dan berkegiatan. Meski sudah dibekali dengan apps canggih yang bisa memperkirakan jarak tempuh serta estimated time saya tiba di tempat tujuan, nyatanya aplikasi pun bisa “error”. Selalu ada hal-hal diluar dugaan yang membuat saya gemes sendiri saking tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi, berapa lama yang saya butuhkan untuk bersiap-siap berangkat ke tempat tujuan? 1 jam, 1,5 jam?

Yang paling memungkinkan adalah 3 jam sebelumnya. Itu pun sudah dekaaat sekali dengan waktu yang sudah ditentukan untuk bertemu.  Untuk mengakalinya, jika saya bertemu di waktu setelah jam kerja, saya akan berangkat di tengah hari dan rela menunggu 4 atau 5 jam sebelumnya dari waktu yang sudah ditentukan. Wasting time? Hmmm, tergantung. Mungkin saat ini tidak. Saya berhasil membawa hal-hal esensial bersama saya selalu, untuk membunuh kejenuhan atau menjadi seseorang yang lebih produktif. Namun, bagaimana sebulan atau dua bulan kemudian?  I think I’m gonna pass.

 Tinggal di suburb area mengajarkan saya betapa berharganya waktu yang saya miliki dan betapa borosnya saya menyia-nyiakan waktu yang saya punya ketika saya masih berdomisili di selatan Jakarta. waktu yang saya gunakan sama sekali tidak efektif karena saya terlalu lama menghabiskannya di jalan. Sekarang, saya akan berpikir dua kali untuk bertemu dengan teman atau partner di hari yang berbeda, karena parahnya keadaan jalan yang harus saya tempuh untuk sampai di tempat tujuan. Saya akan memilih waktu di hari yang sama dan memadatkannya agar lebih efisien dan produktif. Bukan berarti sok sibuk, tapi saya yakin masih ada hal-hal yang berharga lainnya yang bisa saya lakukan tanpa perlu menghabiskannya di jalan.


Akankah saya jadi membenci Jakarta?


Hmmm, saya pikir tidak.

Jakarta telah memberikan kesempatan bagi saya untuk menimba ilmu, bertemu dengan berbagai orang, bertemu dengan sahabat-sahabat saya, dan menguji seberapa jauh pengalaman yang saya punya untuk menjadikannya bermanfaat bagi orang lain. Saya benci kemacetannya, tapi apakah saya akan membenci keseluruhannya? Tentu tidak.

Saya benci banjirnya, tapi apakah saya akan membenci keseluruhannya? Tentu tidak.

Saya benci kesombongannya, tapi apakah saya akan membenci keseluruhannya? Tentu tidak.

Saya pikir saya akan menghargai Jakarta lebih baik daripada sebelumnya dan mensyukuri apa yang saya punya jauh lebih banyak dari apa yang pernah saya lakukan. 

Komentar

Postingan Populer