What will you do, next?
Precaution : it takes 10-15
minutes to read this.
You
don’t mind?
Okay
then, go ahead J
Since
I was a child, my father taught me to become a doctor.
Yes.
Indeed. I think doctor is categorized as one of desired profession, at least in
Indonesia.
Jadi dokter itu, uangnya banyak.
Belum lagi pahala yang didapet karena bisa nyelamatin nyawa orang lain. Selain
itu, di masa tua, kita nggak perlu mikirin uang pensiun, karena sudah bisa
nabung dari apa yang didapat selama menjadi dokter. Well, At least, that’s what
people said.
Waktu itu, nggak ada mimpi lain
yang ada di dalam otak saya yang berhasil mendorong saya untuk berusaha menjadi
seseorang yang berkecimpung pada profesi-profesi impian lainnya (selain dokter).
Saya tahu, papa saya gagal menjadi dokter karena kemampuan financial keluarga yang nggak mencukupi. Selain itu sejak kecil dia
harus membiayai hidupnya sendiri. Ya! Sendiri. Karena papa adalah anak bungsu
dan panggilan hatinya telah membuat dirinya menjadi seorang anak yang
benar-benar patuh pada orangtuanya.
Bahkan pada kakak-kakaknya. Semuanya ia lakukan demi membantu kakak-kakaknya
dan juga orangtuanya.
Papa membiayai sekolahnya
sendiri dengan berjualan kue, mengantar makanan, menjadi penyemir sepatu,
tukang pengecer bensin, dan hal-hal lainnya yang dulu saya sempat nggak
terpikirkan. Hingga akhirnya, ia mengubah mimpinya untuk menjadi seorang abdi
negara, penjaga keamanan nasional, yakni polisi. Nggak ada yang salah dengan
profesi itu, Justru saya bangga karena memiliki seorang ayah yang juga
berdedikasi tinggi kepada negaranya dan
memiliki jiwa yang nasionalis. Hal ini secara tidak langsung menginspirasi
keluarganya untuk menjadi orang yang demikian pula.
Salah satu mimpi papa yang tidak
tersampaikan itu, pada akhirnya sedikit mempengaruhi pikirannya terhadap anak-anaknya.
Secara tidak langsung, ia “sedikit” mendoktrin anaknya untuk memiliki
pekerjaan-pekerjaan yang “bagus”, dalam hal ini dokter misalnya. Hal inilah
yang terus berkembang di diri saya, hingga saya lulus SMA.
Lalu, bagaimana dengan mama?
Bagi saya, mama adalah orang terikhlas di dunia. Tentu semua orang juga
berpikir demikian jika berbicara tentang ibunya. Tapi, bagi saya, mama saya
adalah pengecualian. Mama orang yang ahli sekali dalam bidang akutansi. Semuanya
terperinci, detail. Tidak pernah ada yang luput. Mama rajin sekali menabung. Keahliannya
ini tentunya menguntungkan bagi dirinya. Ia selalu memiliki uang cadangan, jika
sewaktu-waktu membutuhkannya.
Selepas dari SMK, mama ingin
sekali melanjutkan kuliah. Keinginan ini pun akhirnya tandas. Karena ia
memiliki seorang adik laki-laki, ia mengikhlaskan biaya yang ia miliki ditambah
uang simpanan dari kakek dan nenek untuk diserahkan pada adiknya demi membiayai
kuliahnya. Mama berpikir bahwa seorang laki-laki akan lebih membutuhkan
pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan seorang perempuan. Akhirnya, dengan
rela ia melepaskan impiannya, dan bekerja dua shift di tempat yang berbeda, jam
9 sampai jam 3, ia bekerja di department store, lalu bergegas untuk masuk ke
department store lainnya di sore hari yang juga memulai shiftnya di jam 3. Lalu
bagaimana ceritanya ia dapat pergi sekejap dari satu tempat ke tempat yang
lainnya? Alhamdulillah, mama memiliki
teman-teman yang bisa diandalkan. Saat pergantian shift tiba, check id mama sudah dipegang oleh
temannya, hingga ia pun tidak pernah terekam ‘terlambat’ dalam status
kehadirannya di kantor. Meski begitu, ia selalu mengalami nervous yang parah jika
sudah akhir bulan. Mengapa demikian? Karena di akhir bulan, akan selalu ada
peninjauan di kantor pusat dan seringkali ia harus berada di dua tempat yang
berbeda dalam waktu yang bersamaan. Hanya mukzizat dari Allah yang bisa
menyelamatkannya :”)
Kedua orangtua saya berasal dari
keluarga yang sangat sederhana. Hal itu yang selalu mereka tanamkan dipikiran
anak-anaknya. Namun, hal yang berbeda diaplikasikan oleh mereka jika terkait
dengan impian. Beranilah bermimpi setinggi-tingginya, seluas-luasnya,
seliar-liarnya. Maka bisa ditebak, saya
sebagai salah satu anak-anaknya, juga berani mencoba bermimpi
setinggi-tingginya, seluas-luasnya, seliar-liarnya, yakni menjadi seorang
dokter J
Saya ikuti semua kemauan kedua
orangtua saya, tidak pernah saya bantah. Saya kerjakan dengan hati yang senang,
tulus ikhlas, Ridha Allah adalah Ridha orangtua. Tapi saya lupa, memiliki hati
yang ikhlas, hanya benar terbukti jika kata ikhlas tidak perlu lagi diucapkan…
Seiring berjalannya waktu, saya
memiliki hobi baru di bidang seni, yakni tari dan musik. Semua bidang seni saya
suka dan saya pelajari, namun ternyata saya jatuh cinta dalam di kedua bidang
tersebut. Perlahan, tumbuh keinginan saya untuk menjadi seorang penggiat seni.
Saya pelajari bukunya, saya rajin bertanya kepada orang-orang yang saya anggap
jauh lebih berpengalaman dan mumpuni di bidang ini. Hasilnya, mungkin beberapa
prestasi dibidang seni ini bisa saya pulang dan saya pajang dirumah hingga saat
ini. Tapi ya itu, di Indonesia, seni
hanyalah hobi….
Saya pendam keinginan ini,
hingga saya lulus SMA. Saya tekuni bidang sains karena sains adalah ilmu yang
harus dipelajari benar-benar untuk menjadi seorang dokter. Sebisa mungkin,
tidak ada satu nilai merah yang bertengger di raport saya dan pertahankan
ranking 5 besarnya. Semuanya saya ikuti, saya jalani dengan sebaik-baiknya.
Namun, Allah menetapkan jalan
yang berbeda bagi saya. Tidak berapa lama, setelah lulus SMA, saya harus masuk
rumah sakit sebulan lamanya. Hal ini menyebabkan saya gagal untuk mengikuti
ujian masuk SNMPTN, yakni jalur masuk untuk masuk ke universitas negeri. Hanya
jalan inilah satu-satunya yang orangtua saya sanggup biayai, jika saya ingin
menjadi dokter (dalam hal ini kuliah kedokteran). Dengan masuknya saya ke rumah
sakit, saya bisa mengikuti ujian SNMPTN. Padahal, saat dirawat pun, saya masih
berkutat dengan buku-buku ujian SNMPTN. Hal ini juga menimbulkan gelak tawa dan
keheranan dari dokter dan suster yang merawat saya. Namun, tekad saya yang
tinggi tidak mendapat “amin” dari yang maha kuasa. Saya tidak mungkin mengambil
kuliah kedokteran di universitas swasta. Tak ada biaya.
Dari kekecewaan tersebut (saya
juga sangat yakin orangtua saya juga kecewa pada saya), saya mendapatkan info
untuk kuliah dengan beasiswa full hingga tamat kuliah. Saya iseng mengisi
formulir dan memalsukan tanda tangan orangtua saya (jangan ditiru! Jangan!).
Nekat memang. Tapi saya hanya khawatir, jika saya memberitahukan perihal
beasiswa ini dan saya tidak terima, akan ada kekecewaan lain yang hadir di hati
orangtua saya. Maka dari itu pula, saat pengumuman beasiswa keluar dan nama
saya terdapat di dalam salah satu list penerima beasiswa, orangtua saya kaget
bukan kepalang. Mereka merasa tidak pernah mengizinkan atau mengetahui saya
mengikuti sebuah seleksi program beasiswa. Namun demikian, mereka bersyukur
sekali karena saya dapat melanjutkan pendidikan. Terlebih lagi, tanpa biaya
yang harus mereka keluarkan. Alhamdulillah,
setidaknya beban mereka sedikit berkurang.
Di saat memutuskan jurusan
kuliah, saya sebetulnya dilanda kebingungan. Karena, jurusan yang ditawarkan
belum benar-benar menyangkut di hati saya. Dengan berbekal sedikit keyakinan,
saya pun memilih jurusan hubungan internasional. Mengapa memilih jurusan
hubungan internasional padahal saya anak sains? Jawabannya adalah, jujur
sejujur-jujurnya, saya benci sekali dengan pelajaran matematika. Di hubungan
internasional, pelajaran ini tidak ada sama sekali, bahkan statistika
sekalipun. Bonus lainnya, mempelajari hubungan internasional berarti akan akan
banyak sekali mempelajari serta mengkaji buku-buku dengan berbahasa Inggris dan
dituntunt untuk update dengan
perkembangan terkini. Ketiga hal tersebut adalah basic factors saya memilih jurusan hubungan internasional.
Seperti yang sudah-sudah, saya
ikuti kemauan orangtua saya dan membuat hati mereka tenang dengan memberikan
kabar-kabar baik dan nilai-nilai yang baik pula. Saya aktif di beberapa
organisasi, sambil menuntaskan kewajiban akademik saya. Semuanya berjalan
lancar selama 3,5 tahun hingga akhirnya saya lulus. Tidak sedikitpun saya
menyesal memilih jurusan hubungan internasional, karena disinilah pandangan
saya terhadap dunia pada akhirnya terbuka secara lebih luas.
Namun, tetap saja, seni selalu
ada di dalam hati saya. Setelah sekian lama memendamnya, saya beranikan diri mengutarakan
kepada orangtua saya, untuk masuk ke jurusan musik pasca saya lulus. Saya
berjanji, di semester ketiga saya akan berusaha mencari biaya sendiri untuk
kuliah.
Sayangnya, keinginan ini saya
harus dibuang jauh-jauh karena masalah biaya. Saya diminta mengalah, karena
biaya kuliah akan digunakan bagi adik saya untuk melanjutkan kuliah. Saya
menangis sejadi-jadinya saat itu, namun dalam keadaan diam. Saya utarakan
kepedihan saya dalam musik dan terus memadati jadwal perform supaya saya terhindar dari jadwal bertemu dengan orangtua
saya. Jahat sekali rasanya saya saat itu.
Barulah saya benar-benar
menyadari,
Bahwa saya…
saya kehilangan arah.
Saya kosong. Saya bermain musik namun
tidak menggunakan hati. Saya menari, dan bahagia. Namun sesampai dirumah hati
saya menjadi nelangsa. Saya benar-benar meyakini bahwa ada masih sedikit biaya
yang orangtua saya sisihkan bagi saya, karena saat masa kuliah, saya tidak
menggunakan uang simpanan mereka sama sekali. Tetapi, nasib berkata lain. Uang
itu lebih berguna jika digunakan bagi biaya pendidikan adik saya.. dan
tentunya, tidak murah.
Lalu, what should I do next?
Seperti orang normal lainnya,
saya mencoba move on.. hahaha. Sounds silly, tapi move on itu kok yaah, rasanya
beraaaaat banget. Rasanya ada yang mengganjal. Kaya kamu habis makan, sisa
makanan nyangkut di gigi. Kalau belum diambil pakai tusuk gigi, rasanya nggak
afdol seharian.
Move on nya caranya gimana? Cari
tempat kerja, cari kesibukan gila-gilaan. Nggak ada waktu buat diri sendiri.
Semuanya dikerjain. Pada akhirnya, yang protes bukan lagi orang-orang
disekitar, tapi secara langsung melalui badan sendiri. Efeknya? Badan hancur…
Sedih sekali rasanya, ketika
mimpi yang selama ini selalu kamu tanam, kamu pupuk, kamu siram, ketika baru
mencoba untuk berbunga, lalu ada seseorang yang dengan seenak udelnya mencabut
tanpa pikir panjang lagi. Dia tidak tahu seberapa lama kamu mencoba untuk
menjaga tumbuh kembangnya, memerhatikan kondisinya hampir setiap hari, dan
tiba-tiba suatu hari, hilang sudah.
Begitulah mungkin perasaan yang
saya rasakan, jumpalitan, merasa tidak rela, tetapi harus direla-relakan..
A secret of
happiness is letting every situation be what it is..
Dengan prinsip itulah, saya
memutuskan untuk berjalan. Mengapa tidak berlari?
Karena saya yakin sekali, nggak
ada orang yang bisa langsung berlari setelah ia terjatuh.
Ada momen dimana saya harus
mengangkat tubuh saya, memastikan bahwa luka yang disebabkan saat terjatuh
pulih, lalu kemudian menatap kembali jalan yang ada di hadapan saya.
Another
question, what should I do next?
Saya sedang dipenghujung
semester terakhir jenjang master. Tinggal sedikit lagi menjadi seseorang yang
memiliki huruf M di belakangnya. Lucu ya.. untuk memiliki huruf S dibelakang
kamu memerlukan waktu 4 tahun. Bahkan ada yang sampai 5 hingga 7 tahun. Lalu, muncul
huruf M berikutnya. Dibutuhkan waktu sekitar 1,5 hingga 2 tahun. Padahal nama
saya sudah ada S di depannya ;D
Jadi saya memutuskan untuk
menikmati apa yang saya punya sekarang. Keadaan saya saat ini adalah keadaan
yang tercipta dari berbagai potongan momen, ratusan liter air mata, dan juga
gelak tawa yang tidak terhitung. Saya menyakini masih ada paragraph – paragraph
lain dihidup saya yang menanti untuk ditulisi. Jika kemarin saya berharap dapat menghapus paragraph
tersebut, kali ini saya memberanikan diri untuk menuliskannya tebal-tebal,
bahkan kalau bisa dengan spidol yang permanen. Saya tahu tidak aka nada perjalanan yang mulus, tapi
jelas saya menantikan perjalanan – perjalanan menarik berikutnya…
Komentar