Not a Mind Reader
Dua hari yang lalu, saya bertemu
dengan sahabat saya sejak SD, yang lalu
berubah menjadi sahabat SMP, berubah lagi menjadi sahabat SMA, sahabat kuliah,
dan sampai sekarang.. dan harapannya terus begitu hingga nanti rambut kita
berdua memutih.
Sahabat saya ini memiliki banyak
kesamaan yang dengan saya.
Dia juga unik.
Bersama dia, saya tidak takut
dihakimi, tidak takut untuk berkata sebenarnya, bitter truth, tidak takut untuk menangis, tidak takut untuk tertawa
gila-gilaan, tidak takut pula untuk diam berlama-lamaan. Kita sama-sama tahu.
Selalu ada bahu untuk bersandar, selalu ada tangan yang bersedia untuk
menghapus air mata, dan selalu ada pula kerlingan nakal saat keduanya sudah overloud tertawa.
Kami sama-sama Pisces. Sama-sama
penyuka basket. Sama-sama tinggal di Tendean. Tinggi badan kami hampir sama.
Saya mungkin beruntung, lebih tinggi sedikit ;D sekolah kami selalu sama,
jurusan pun sama. Yang berbeda hanya ketika kami kuliah. Dia mengambil sistem
informasi dan saya mengambil jurusan hubungan internasional. Dia pendiam,
tetapi ramai. Dia lucu dan juga manja. Dia galak tetapi juga penakut. Unik ya?
Jumlah pacar yang dia punya,
jauh lebih banyak track recordnya daripada saya. Lagian, siapapula yang mau
lomba seberapa banyak mantan yang kita punya ?:P setiap orang pasti bermimpi
untuk memiliki pacar yang kemudian siap membawanya ke pelaminan. Sayangnya,
kebanyakan kandas di tengah jalan.
Sahabat saya ini bulan depan
ulangtahun. Tahun ini, saya sepertinya ingin memanjakan dia dengan lebih baik.
Daripada saya menghadiahinya dengan kado Mickey atau Minnie mouse seperti yang
sudah-sudah, saya berkeinginan untuk mengajaknya jalan berdua saja, lalu saya
biarkan dia memilih barang yang diinginkannya. Saya ingin memiliki waktu yang
lebih lama bersama dia dihari itu, meski saya tahu, dia juga perlu membagi
waktunya dengan sang pacar, maupun dengan ayah ibunya tercinta. Dengan yang
sekarang ini, dia sudah berjalan 2 tahun. Dan bagi ayah dan ibunya, dia adalah
permata. Maklum, anak satu-satunya J
Tahun 2017 ia berencana untuk
lamaran. Sibuk Tanya sana sini sama saya. Saya menjawab hanya dengan senyuman.
Sejarah saya dan dirinya berbeda, tidak mungkin bisa menghadapinya dengan cara
yang sama.
Saya menyadari kami bertambah
dewasa
Ada hal-hal yang kami anggap
sudah cukup untuk bisa kami bahas bersama.
Kami tidak perlu lagi memikirkan
akan pulang naik apa? Bukan-bukan, bukan berarti kami siap dengan kendaraan
yang serba ada. Tetapi, kami menyadari bukan itu yang lagi menjadi pikiran
penting saat kita bersama.
Entahlah, saya nyaman sekali
bersama dirinya. Saya tidak perlu menjadi orang yang berbeda, yang menjaga
sikapnya, yang mengontrol sekali gaya bicara saya agar tidak menyakiti hati
orang lainnya. Saya dan dia begitu click, begitu saja.
Dia bercerita, bahwa dia dan
pasangannya saat ini, seperti berkaca. Semua yang ada di dalam dirinya, ada di
dalam pasangannya. Hingga kadang, dia lelah sendiri untuk menghadapinya. Sama-sama
keras kepala, sama-sama egois, sama-sama pencemburu, dan begitulah.. beberapa
kekurangan yang ia sebutkan, selalu berujung sama dengan pasangannya. Sampai
pada satu pemikiran..
“gimana
kalau nanti gue nikah sama dia… ngadepin kaya gini aja susahnya minta ampun”
“udah
coba diomongin belom, mau kamu apa?”
“gak..
setiap ngomong pasti ujungnya berantem. Biasanya gue bakalan diemin dia sampe
dia pulang sendiri. Atau gak, gue suruh pulang”
dan yak, saya cuma bisa diam
bengong menghadapi sikap sahabat saya ini.
Kalau orang-orang yang belum
kenal dia, sahabat saya ini galak sekali. Sifat dan sikapnya tomboy dari dulu.
Alhamdulillah, sekarang dia yang mulai duluan untuk berhijab. Tetapi, kadar
ketomboyannya tidak berkurang sedikitpun, meski sekarang sudah bisa main alis
dan lipstick. Dia cantik. Saya sayang dia meski tanpa alis dan lipstick.
Sampai akhirnya, saya menasihati
dirinya. Supaya jangan terlampau galak, supaya lebih mengalah, supaya lebih
rendah hati untuk memulai kata “maaf” terlebih dahulu.. tetapi kemudian saya
pun terhenyak..
Wah,
mungkin saya juga sedang menasihati diri saya sendiri.
Ada kalanya saya kesal sendiri,
ketika saya merasa kok ya ini orang nggak
ngerti-ngerti! Kenapa begini, bukan begitu. Kok susah sekali ngerti, padahal
udah kenal lama..
Ya
jelas, kita
tidak memiliki kemampuan untuk menjadi mind reader.
Well, mungkin saya sedikit. Tapi saya
sudah buang jauh-jauh kemampuan tersebut, karena kenyataan yang saya dapati itu
menyakitkan. Ya, saya lebih baik menghindar dari kenyataan pahit dan hidup
biasa-biasa saja, daripada harus mengetahui semuanya secara blak-blakan. Nggak enak, sumpah!
Saya lalu kembali menasihati
teman saya, kalau pria itu tidak diciptakan untuk menjadi pembaca pikiran atau
pemecah kode. Seberapa kalipun kita bilang “nggak apa-apa” padahal ternyata
“ada apa-apa” tetap saja mereka tidak bisa lulus. Alias failed, alias gagal.
Tidak akan pernah mengerti. Karena mereka demikian. Mahluk yang kadar
testosterone lebih tinggi ini, lebih menghargai logika yang berjalan di
pikirannya, dibandingkan hati yang memerlukan translasi jauh lebih kompleks. Demikian
adanya, dibalik nggak apa-apa, akan
selalu ada gondok yang tidak kasat mata :D
Jadi, daripada berpusing-pusing
ria, saya bilang saja untuk menerapkan hal tersebut kali ketika dia merasa
lelah dan sudah tidak sanggup lagi akan kegagalan kaum adam dalam menerjemahkan
sandi hati. Semoga saja, mereka lebih mengerti J
Komentar