Bandara

Ada yang datang. Ada yang pergi

Secepat itu, bandara mengajarkan saya arti “ senang berkenalan denganmu dan sampai jumpa”
Pertama kalinya saya menginjakkan kaki ke bandara, menemui burung besi yang mengudara adalah ketika saya masih memakai “bebe” dan rambut dikuncir tinggi.
Saya ingat banyak sekali burung besi yang datang dan pergi. Ada yang lama sekali singgah, tapi tak pernah selama itu untuk menunda kepergian yang lainnya.
Ada sesuatu yang magis dari bandara, pesonanya tidak terbantahkan.

Kali pertama saya hanya menjadi sang pengantar dari papa yang akan berangkat bertugas jauh, membela merah putih. Dengan peci biru dan lambang bola dunia, ia berangkat pergi jauh. Saya berada dipelukan hangat nenek. Masih tidak mengerti mengapa harus kesini. Yang saya tahu, saya hanya sibuk melambaikan tangan, sesuai arahan nenek dan mama. Saat itu, mama masih mengandung adik saya di dalam perutnya. Kakak saya masih sibuk naik ke pembatas pagar. Satu tangannya membawa “pesawat” lainnya dalam ukuran mini. Bibirnya misah misuh menirukan suara berisik apa saja yang ia dengar.

Bandara menjadi tempat persinggahan yang menyenangkan setelah saya beranjak dewasa.

Ada beberapa tempat yang mulai saya ketahui, menyajikan kopi sekaligus makanan cepat saji yang saya suka. Saya selalu menunggu papa, selalu. Di restoran yang sama dan menanti apa yang akan dibawanya tiap kali. Kerap kali, saya mendapati tas pemberian papa yang sebenarnya lebih cocok untuk dipakai oleh abang, namun akhirnya ia serahkan pada saya. Ada pula t-shirt dengan bertuliskan nama negara atau nama kota yang ia kunjungi. Namun, yang paling sering adalah buku dan cokelat. Item terakhir adalah permintaan saya. Saya selalu menyukai rasa cokelat yang berbeda dan buku apa saja yang papa bawakan untuk saya.

Itu dahulu, saat saya menjadi penunggu dan sang pengantar.

Kali kedua ketika saya pertama kali melakukan perjalanan sendiri, saya mempelajari banyak hal.
Saya tidak suka raut wajah sedih orang-orang yang berangkulan di bandara. Saya benci melihat air mata, karena berikutnya mungkin saya yang mengeluarkan air mata.
Saya suka melihat gestur-gestur kecil yang diciptakan oleh pasangan muda saat berpergian. Berangkulan hangat, berbicara dengan kedekatan yang intense, atau hanya bergandengan tangan seakan takut tertinggal. Saya mengamatinya. Lama. Saya berpikir, mungkin saja beberapa tahun lagi saya yang berada di posisi tersebut. Mungkin.
Saya tidak suka ada tangis dan ucapan selamat tinggal. Mungkin, saya akan menggantinya dengan sampai bertemu lagi, sebagai tanda “ ya kita akan bertemu lagi”

Bandara juga yang menginspirasi saya dalam menulis.
Menunggu damri untuk diantarkan pulang juga menjadi hal baru bagi saya untuk berpikir banyak alih-alih tidur terlelap di dalamnya.
Saya menjumpai banyak sekali orang asing, yang mungkin, mungkin saja ternyata mempunyai hubungan secara tidak langsung dengan saya.
Mungkin kita berkenalan sebelumnya, lalu terlupa. Hanya ingat wajah, tidak ingat nama.
Mungkin saja, mereka adalah saudara jauh saya,
Mungkin pula, saya dan dirinya pernah memiliki suatu hubungan di masa lalu.
Aah, bandara ini selalu bertabiat demikian. Selalu, selalu saja mengantarkan saya berkhayal hingga jauh rasanya. Khayalan tingkat tinggi, mungkin namanya.

Di tahun ini, saya hanya ingin perjalanan singkat. Mengenal jati diri saya.
Saya ingin menjelajahi waktu dan tempat, untuk saya sendiri.
Saya ingin ketika saya tua nanti, saya mampu bercerita pada anak-anak saya kelak, betapa bandara mampu mengajarkan kita hal-hal baru dalam hidup.
Seperti saya, yang selalu haus untuk memulai petualangan baru, bertemu dengan orang-orang baru, mempelajari historinya, atau mereka-reka dalam ingatan, pengalaman apa saja yang dapat saya temui nantinya.
Saya cinta bandara.
Saya ingin berkelana di dalamnya.
Semoga nanti, yang menjadi pendamping saya kelak juga mungkin saja, menyukai perjalanan seperti saya.


Doakan saja.







Komentar

Postingan Populer