Di suatu sore itu
Kecil rupaku.
Bajuku hitam, kulitku.. hmm… Tak menentu.
Kadang putih, kadang menjadi hitam dan putih.
Sesuka majikanku.
Kali ini aku akan bercerita mengenai aku dan
majikanku.
Dalam beberapa bulan belakangan ini,
Aku sering sekali diajak jalan oleh majikanku.
Kemana pun dia mau pergi, aku pun turut serta.
Aku selalu dibawanya, tak pernah ia lupa.
Namun perjalanan yang paling aku ingat adalah sebuah
perjalanan kami menuju tempat peribadatan yang belum pernah aku singgahi.
Saat itu, dengan menaiki motor, kami berjalan bersama.
Aku belum tau tujuannya kemana, yang jelas langit
siang itu sedikit mendung tertutup awan.
Selama perjalanan, kami ditemani berbagai lagu yang
keluar dari pemutar lagu majikanku.
Semua lagu itu, bisa aku bilang terdengar sendu.
Tak ada yang menyemangati kami.
Sesekali, aku liat majikanku ikut menyanyi.
Kadang bersenandung..
Namun, di bagian-bagian tertentu ia menyanyikannya
dengan lantang.
Rasanya seperti,
Menghayati sekali.
Aku mencoba mencerna lagu-lagu yang diputar itu.
Namun, kadang aku terganggu oleh suara desiran angin
yang melawan laju motor yang kami naiki ini.
Jadi, kadang suaranya hanya samar-samar.
Kadang terdengar jelas, ketika majikanku ikut
menyenandungkan liriknya dengan lantang.
Omong-omong, aku masih belum tau tujuanku kemana.
Dikejauhan, aku mendengar suara bergemuruh.
Ooh, tidak baik.
Sepertinya akan hujan!
Tapi, majikanku terus melaju.
Malah ia semakin memacu kencang motor yang kami naiki
ini.
Mungkin ia juga tidak ingin terkena hujan . mungkin.
Hingga akhirnya, motor ini pun berhenti tepat ketika
suara adzan ashar berkumandang.
Jaket majikanku sudah basah. Begitu pun sepatu dan
celananya.
Untungnya baju di bagian dalamnya hanya sedikit
lembab. Dan aku bersyukur, aku pun tidak harus mengalami basah di sekujur
badanku.
Majikanku memarkirkan motor dan kami berlari cepat
memasuki bangunan ini.
Bangunan yang terdapat ukiran-ukiran arab dan berwarna
hijau ini.
Majikanku berhenti sebentar, melihat sekelilingnya.
“Ooh, disitu rupanya!” ujarnya. Lantas ia berjalan
menuju arah yang ia maksud.
Tempat wudhu wanita.
Aku menunggu ia membasuh hampir semua bagian tubuhnya.
Tak berapa lama, ia sibuk berkomat-kamit, dan
mengajakku turut serta untuk masuk ke dalam bangunan ini.
MASJID.
Ketika memasuki saf bagian wanita, majikanku nampaknya
tertinggal beberapa gerakan.
Ia segera mengambil mukena yang ada di dalam tasnya.
Memakainya cepat-cepat, dan segera menyusul jamaah lainnya.
Aku dengan sabar menunggunya.
Hingga gerakan terakhir, ia menoleh kanan dan kiri.
Kudapati ia, tengah menangis. Terdiam.
Ia menahan getir di bibirnya. Sambil berkomat-kamit.
Tidak sesegukan, tidak ada suara yang keluar dari
mulutnya.
Tapi matanya merah dan basah, hidungnya pun ikut
berwarna merah. Ia mengatupkan tangan di mukanya, lalu bersujud.
Aku menghitungnya..
Cukup lama.
Hingga akhirnya, ia bangun dari sujudnya, dan keadaannya pun masih sama.
Ia mengusap air mata yang jatuh mengalir di pipinya,
mengambil tas dan mengajak aku untuk duduk menyandar di bagian belakang yang
dekat dengan dinding.
Ia mengambil aku.
Menuliskan sesuatu di bagian tubuhku.
Tulisan di kalimat awal tertulis rapi, namun
sesudahnya tulisannya seperti ehmm
cakar ayam.
Tulisan-tulisan yang tertulis di badan aku, membuatnya
semakin menangis.
Ia terus menulis.
Mengguratkan sebuah kalimat. Nama-nama. Nama yang
sering aku dengar.. seringkali ia sebut, dimanapun ia berada dan saat aku
bersamanya.
Di bawah tulisan itu pun ia mulai menggambar.
Ada sosok-sosok orang yang entah siapa ia gambarkan.
Ada sesosok wanita yang menunggu.
Ada pula yang sedang mengendarai motor.
Dan banyak hal lainnya.
Ia mulai menghentikan tangisnya.
Namun, di saat goresan terakhir yang ia gambarkan, ia
berhenti. Lama sekali.
Aku berpikir, apa
yang sedang dipikirkan olehnya?
lalu, ia mulai kembali menulis.
Nama-nama itu lagi.
Besar-besar. Satu tubuhku hampir tidak muat dengan
nama-nama itu.
Ia terus menggurat nama-nama di tubuhku berkali-kali.
Sampai ia sepertinya sedikit lelah. Berhenti.
Dan kemudian menangis lagi.
Aku penasaran.
Siapakah nama-nama ini?
Mengapa majikanku mudah sekali menangis hanya dengan
menuliskan nama-nama itu?
Siapakah ia yang sanggup menjungkirbalikkan perasaan
majikanku ini?
Hmm.. seandainya saja majikanku mau bercerita secara
langsung padaku.
Tapi, biarlah. Biarkan majikanku sibuk menumpahkan
perasaannya padaku lewat tulisan-tulisan di tubuhku.
Biarkan aku yang menjadi tumpuannya saat ini..
Komentar