Dia


Sudah ketiga kalinya, ia terbangun.
Dan saya hanya bisa memandanginya dari kaca.

“kamu gak boleh masuk”, kata a deden. “nanti dia histeris lagi”

lalu saya hanya bisa mencelos, berjalan. mencoba mencari bangku terdekat.

Sebenarnya, saya ingin sekali terus berdiri, melihat di antara kaca yang memisahkan dirinya dengan dunia luar.

Dunia dirinya, bersama dengan rangkaian selang-selang penopang hidup.

Dunia luar adalah di luar kaca. Ada a deden, teh pipit, mama, bapak, dan saya…

Baiklah, mungkin lebih tepatnya bagian luar “cuma” saya.

Yang lain adalah keluarganya.

Mama, bapak, dan teh pipit sudah pulang. Saya dengan sigap menyuruh supir untuk mengantarkan mereka pulang. Toh, malam sudah larut. Mama terkantuk-kantuk. Bapak sibuk menyudut rokok disudut ruangan. Gelisah, saya tahu.

Malam ini, hanya saya dan a deden.
Mantan kakak iparnya.

Semua hal yang mengganggu, sudah saya singkirkan. Sudah 5 jam, telepon genggam saya matikan. Tidak ada layar besar tablet menyala di hadapan saya.

A deden sibuk membaca surat yasin, mengirimkannya untuk ia yang terbaring di balik kaca. A deden tidak duduk, tidak minum, tidak istirahat.

Sedang saya?
Hanya memandanginya lekat-lekat. Seakan tiap detik adalah mukjizat. Mukjizat untuk mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Sudah hampir 48 jam ia tertidur.

24 jam sebelumnya adalah neraka.

Dan kini, saya entah berada di gerbang mana.

Neraka? Surga?

Saya memang pernah mendoakannya untuk mati. Mati saja.

Saat itu kami bertengkar hebat. Awalnya sederhana, hanya karena perbedaan selera tentang bagaimana kami meletakkan furniture rumah yang baru saja kami beli. Uang kami sendiri.
Sayangnya, pilihan furniture yang dipilih ternyata terlalu besar untuk ruangan kami, dan saya sibuk memintanya untuk mengembalikan ke toko. Tapi dengan kencang ia berteriak,
“tidak, ini sudah dibeli. Tidak mungkin dikembalikan”

Lalu, ia mulai berteriak-teriak lagi, tentang bagaimana saya yang cuek, tidak lagi perhatian padanya, bahkan nada-nada terakhir suaranya yang saya ingat betul, “kamu itu patung, dan saya bodoh sekali mau jadi istri kamu”

Sejak saat itu saya berdoa agar ia dimatikan saja. Entah bagaimana caranya.

Saya tidak sanggup mendengarnya mengoceh tiap hari tentang kebiasaan-kebiasaan saya. Yang menurutnya “aneh”.

Saya tidak suka masakan modern, sedangkan ia adalah pecinta dan pembuatnya
Seringkali masakannya tidak habis, karena saya tidak pernah menyentuhnya.
Tapi, bukan salah saya bukan, karena saya sudah berulangkali mengingatkan kalo saya tidak suka makanan berbau keju dan pasta.

Atau teriakan-teriakan lainnya ketika saya lupa mematikan lampu kamar mandi, menutup tutup pasta gigi di tempatnya, bahkan kebiasaan saya untuk mengganti pakaian dalam minimal dua kali sehari.

Saya muak.

Pernikahan kami memang hanya berumur dua bulan, sedangkan masa pacaran kami hanya berjalan dua minggu.

Jangan salahkan saya, jika sampai hari ini, masih ada masa dimana perjodohan itu diwajibkan, cinta menjadi hal yang “nanti dijalani juga terbiasa” atau hal lainnya.

Ia yang berbeda hampir 4 tahun dari saya, dengan segala sifat manja dan otoriternya, sedangkan saya yang merupakan individu bebas, rasanya bagaikan langit dan akar.

Jika bumi dan langit saja sudah jauh, nah, saya pikir hubungan kami ini adalah langit dan akar. Saya akar dan dia pun langit. Jauh. Berpikir pun saya malas.

Sejak pertama kali saya tahu dijodohkan, segala usaha saya coba untuk membatalkannya.

Hingga akhirnya, saya menyerah.
Dirinya tampaknya menikmati perjodohan kami.

ia yang begitu semangat untuk mencari mas kawin, ia yang begitu semangat untuk mencari seserahan, dan hal-hal printilan lainnya.

Sedang saya hanya bisa membatin dalam hati agar cepat selesai. Agar buru-buru menikah saja dan tidak perlu dibebani dengan hal-hal yang menyebalkan ini.

Tapi saat itu, saya hanya tersenyum setiap ia mintai pendapat. Saya menemaninya kemanapun. Menemaninya membeli es krim ketika kami tidak sengaja melewati kedai es krim favoritnya, menemaninya untuk mencari tumpukan buku-buku bekas, sebagai salah satu seserahan, karena saya baru tahu bahwa ia pecinta buku, dan lainnya.

Saat itu saya tidak mengeluh. Hanya diam.

Lalu, ketika pernikahan itu mulai terasa pahitnya. Saya tidak tahan.

Saya talak ia.

Dan ia tidak menolak.

Tidak seperti biasanya.

Ketika saya melakukan yang tidak ia suka, ia akan berteriak, bak orang gila. Lalu menangis sendirian di kamar. Saya tidak pernah mendiamkannya. Karena saya tahu, esok paginya akan biasa-biasa saja.


Peristiwa itu, sudah satu tahun lamanya.

Saya tidak mendengar lagi kabarnya.

Meskipun saya tidak menyangkal, bahwa terkadang saya melihat statusnya di social media, menanyakannya terkadang pada teman-temannya yang sedikit saya kenal. Semua mengatakan, tidak tahu.
Tidak ada update status terbaru, selain status terakhir yang ditulisnya, ketika kami maju ke meja persidangan.

Setelah itu, semuanya seperti lepas.
Saya merasa bahagia. Tapi.. bahagia yang aneh.


Mama, bapak, teh pipit, a deden, semuanya menyayangkan keputusan saya.
Tapi, bagaimanapun juga, saya yang mengalami pernikahan dengannya, bukan mereka.

Hingga 24 jam yang lalu, telpon masuk di meja kantor mengagetkan saya, seakan melumpuhkan semua persendian saya..

“cepat ke rumah sakit dharmais sekarang. Mita kritis”

sekarang disinilah saya,
mencoba untuk memutar kembali memori ketika kami bersama. Ketika kami sama-sama masih berstatus suami istri.

Seburuk itukah dirinya di mata saya??

Saya baru tahu Mita tidak memiliki orangtua, ketika saya menanyakan siapa walinya. Dia menjawab, saudara jauhnya akan menjadi walinya.

Saya sama sekali tidak tahu apa kesukaannya, kecuali masakan-masakan modernnya yang terasa aneh dilidah saya dan saya bersumpah tidak akan memakannya lagi.
saya mencoba memutar kembali ada kenangan manis apa yang sekiranya bisa saya kenang, ketika bersamanya. Tapi, terasa nihil..

sampai akhirnya, a deden menyerahkan tasnya untuk dijaga bersama saya.

“a mau pulang, kalau dia bangun lama, jangan tunjukin muka kamu. Nanti dia histeris lagi kaya pertama kali ketemu. Ini tasnya kamu pegang”

saya tercengang.
Cukup lama.
Tas ini, adalah tas yang ia minta belikan, ketika saya baru saja men-talaknya.

“saya minta dibelikan tas, di sebuah toko langganan saya. Boleh? Untuk pertama dan terakhir kalinya”..

saat itu saya sedikit bingung, tapi tetap mengiyakan. Dengan status sebagai pekerja lembaga perserikatan bangsa-bangsa, tentu gajinya sebulan sanggup untuk membeli tas yang ia minta.

Sebuah tas yang cukup besar untuk menaruh semua barang-barang yang biasa ia bawa.

Tapi toh, saya tidak ambil pusing. Yang penting saya akan terlepas darinya.

Saya lihat lagi dari balik kaca. Nafasnya teratur, ia tidak lagi bangun dari tidurnya. Mungkin kegelisahannya tadi hanya mimpi buruk saja.

Tiba-tiba, keisengan saya mendadak muncul. Saya mencoba untuk membuka tasnya.

Isinya, ada sebuah dompet, tentu saja,
Parfum yang biasa ia pakai,
Sebuah kacamata,
Sisir, dan sebuah buku catatan.

Hmmm, barang-barang ini biasanya hanya barang sepertiga yang biasa ia bawa. Saya tahu karena pernah memergokinya tergesa-gesa memasukkan hampir semua barang yang dirumah, untuk dimasukkan ke dalam tas lamanya.

Lagi, keisengan saya berlanjut,
Ternyata, buku catatan ini hampir penuh.
Semua catatan yang tidak pernah saya lihat sebelumnya.
Saya bahkan lupa bagaimana tulisan tangannya.

Beberapa halaman, terdapat potongan-potonga , sepertinya larik puisi yang belum selesai.
Ada guratan-guratan seperti reminder waktu,
Ada tulisan-tulisan yang panjang, namun berbahasa perancis, yang tentu saja tidak saya tahu artinya.
Dan sampai pada bagian belakang,


“saya cinta kamu karena Allah, biarkan saya mati mengingatmu karena Allah”

ada sebuah foto polaroid, sedikit pudar.
Saya amati lekat-lekat,

Ternyata, itu adalah foto punggung saya sedang menyikat gigi, hanya dengan mengenakan baju putih oblong dan celana boxer yang biasa saya pakai.

Saya buka lagi lembar-lembar yang mungkin saja terlewat saya baca.

Banyak sekali guratan-guratan sketsa, saat saya menyantap sarapan, saat saya sedang memegang tablet,
Dan satu hal yang paling jarang saya lihat.

Saya tertawa.

Beginikah rupa saya ketika ia melihat saya?

Saya begitu,





Bahagia…



To be continued..

Komentar

Postingan Populer