Love is not only showing you’re romantic sides.
Cerita ini berangkat dari perjalananku dalam sebuah misi budaya menuju peradaban Eropa Timur, sebuah negara pecahan Uni Soviet yang sekarang akrab dengan sebutan Rusia, Polandia.
Tidak pernah sekalipun terlintas dari pikiranku, bahwa Polandia adalah negara Eropa pertama kali aku kunjungi. Not even once. Apa yang tertanam di otakku sejak masih memakai seragam putih merah hingga saat ini ialah mengunjungi sebuah monument dengan ketinggian 300m lebihnya dan berdiri tegak menjulang seakan puncaknya mampu mencapai langit yang dihiasi dengan awan cumulus putih. Menara Eiffel, di kota Paris, dan jelas.. berada di bagian Eropa Barat. Aku tidak pernah memimpikan hal lain selain mengunjunginya, lalu melakukan tur-tur mengunjungi Notre Dame, berdiri di depannya mengucap mantra yang konon akan membuatku kembali lagi berkali-kali ke kota ini. Menyusuri gang-gang sempit dan mengabadikan moment-moment yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidup. France obviously my dream country. No doubt for that.
Lalu, kesempatan ini datang tanpa diduga. Masuk ke dalam pori-pori kulit, merambah ke sela-sela aliran darah dan otot. Memacu adrenalin dan kemudian pop! Membakarnya. Aku bersemangat! Dan tidak ada yang dapat menghentikannya!
Ini adalah pengalaman pertamaku menunjukkan betapa aku mencintai budaya dan seni setiap negara. Dengan keingintahuan yang tinggi aku mencari sejarah-sejarah yang terjadi pada negara itu, bagaimana perilaku masyarakat di dalamnya, bagaimana budaya mereka, dan hal-hal lainnya. Sebenarnya cerita ini telah jelas diceritakan pada postinganku di beberapa tahun sebelumnya.. namun kali ini, aku berbicara mengenai hal yang berbeda. Aku membahas cinta. Cinta yang aku saksikan di sebuah negara Eropa dengan visa schengen pertama yang tertempel di pasporku. ;)
Perkenalkan LO ku kali ini, Aga dan Pawel. Pertama kali aku melihat mereka, yang pertama kali terlintas adalah “They are cute brother and sister” really! This picture will show you, how cute and lovable they are!
![]() |
liat rambuutnya sama2 kriwil! |
But then, I was wrong! Mereka masih berumur 17 tahun (untuk aga) dan 18 tahun (untuk pawel) and they were couple! Aku terjebak dengan similaritas fisik mereka yang tidak begitu jauh dan betapa mereka tidak menunjukkan hal-hal romantic itu! *y know, all the hug-pinch-blablabla stuff*. They were professional and they prove it.
Lalu, ketika semuanya terungkap, beberapa teman dari tim misi budaya ini, mulai mengejek-ejek. Bukan mengejek yang bersifat merendahkan loh ya,,, tetapi lebih membuat mereka blushing. Hahahaha :D. and it works! Hal ini menjadi kebiasaanku juga ketika berada di bis dalam perjalanan menuju tempat performance, dalam briefing kecil ketika ingin menjelaskan kegiatan di esok hari, dan juga ketika aga masuk ke dalam kamarku dan kita berbincang bersama. Ooh, I love them much!
Sampai ketika, sebuah tragedi bagiku terjadi. Setelah salah satu performance di sebuah rumah sakit anak kecil, penyakit itu kembali menyerang. Aku harus dilarikan ke rumah sakit. Dengan ambulance. Can u imagine, I never get inside the ambulance before and I have to through in other country? And yes, the doctors also can’t speak English. Hahahahha. The body language made it easier indeed.
Kemudian, aku melihat aga yang begitu cemas dan dia menangis. Dia berpikir ini adalah kesalahannya. Dia begitu cemas hingga menelpon semuanya yang ada di contact list. Saat itu, aku merasa luarbiasa bersalah. Ini bukanlah salah aga dan dia terus menyalahkan dirinya. Hingga akhirnya pawel datang dan berhasil menenangkannya jauh lebih baik.
Tau apa yang pertama kali dilakukan pawel ketika melihat aga menangis? Ia mengambil handphone yang sedang aga pegang, karena sibuk menelpon orang-orang sambil menangis, membalikkan tubuhnya, mengguncangkan bahunya, sedikit meninju bagian dadanya, lalu menyodorkan bahunya. Itu terjadi alamiah. Tanpa sebuah penyangkalan, aga menerima itu semua dan tangisnya mereda. Setelah itu, tawa mereka pun pecah. Kejadian itu terjadi di sebuah lorong rumah sakit tua, dengan keadaan lampu yang temaram, bersender pada dinding yang bercat putih gading. Aku melihat mereka sambil tersenyum di bangku tunggu rumah sakit setelah treatment itu selesai. Setelah tawa itu usai, barulah Pawel menyodorkan sebuah kardus besar Merci, cokelat yang sepertinya sangat disukai aga. Baru kemudian, Aga menangis.
Aku bingung. Hal yang diberikan oleh Pawel adalah coklat kesukaannya dan kemudian dia menangis? Setelah kejadian ini berselang, barulah aku tau dari Aga, bahwa Pawel tidak pernah memberikan ha-hal yang manis seperti ini selama mereka berpacaran. Pawel tau Agaa suka dengan coklat Merci, namun Pawel tidak pernah memberikannya. Dan dia berterimakasih padaku, karena oment inilah Pawel bisa menunjukkan sisi romantisnya. Meskipun hal itu bukan menjadi hal yang utama bagi Aga.
Aku menganga sambil menunjuk diri aku sendiri. Aku? Padahal aku yang menyebabkan dia menangis dan dia berterimakasih padaku? Terkadang ada hal-hal yang masih belum bisa aku mengerti sampai sekarang ini. Tentang bagaimana Aga mencintai kebiasaan Pawel ketika memukul drumnya dengan stick, atau kecintaan Pawel pada Aga, karena penampilannya yang menunjukkan usia sebenarnya, ketika teman-temannya yang lain sibuk dengan penampilan 20 atau 30an..
Oh Aga and Pawel, even both of you aren’t stick together anymore, but you are still my favourite couple ever J miss you
Komentar